Jika Kita Tidak Bertakdir, Lewat Tulisanlah Aku Dapat Membicarakanmu Secara Utuh
Langit masih cerah. Seperti warna kemejamu hari ini. Mengingatkanku pada rutinitas kita akhir-akhir ini. Bertemu dalam ruang bicara, menyampaikan aspirasi, bertukar cerita. Diam-diam aku memperhatikanmu dari jauh. Menatapmu lekat-lekat, tapi aku tidak berani mengarahkan pandanganku di kedua matamu. Dua bola matamu itu yang harus kuhindari, seolah mengandung aliran listrik dua ribu volt. Sebisa mungkin aku berusaha tidak ketahuan olehmu. "Bagaimana pendapatmu, Nis?" tanya seorang kawan di sebelahku. Lina namanya. Aku yang sedari tadi tidak begitu memperhatikan diskusi yang berlangsung ruang bicara menjadi kikuk. "Eh, pendapatku?" jawabku. Kini satu ruangan menatap padaku. Termasuk dirinya. Mereka semua terdiam seolah menanti jawaban dari mulutku. "Ohya, kalau menurutku sih... Bla bla bla" Diskusi hari itu berjalan hangat. Sebab matahari itu ada di sini. *** Kamu seringkali bertanya, mengapa aku betah berlama-lama di sini. Duduk di tepian danau kampus, sendi